Kisah “Awuwukha” si Pemburu Kepala Manusia Dari Pulau Nias

0
1149
Kisah “Awuwukha” si Pemburu Kepala Manusia Dari Pulau Nias - Niasoke.com
Kisah “Awuwukha” si Pemburu Kepala Manusia Dari Pulau Nias - Niasoke.com

Niasoke.com – Pulau Nias memang menyimpan berjuta pesona keindahan alam, dan juga cerita masa lalu dari sejarah yang kelam yang mungkin jika kamu baru mendengarnya, akan terasa sangat menyeramkan.

Salah satu cerita yang terkenal adalah “Cerita Pemburu Kepala Manusia” atau “Kisah Awuwukha si Pemburu Kepala”, terdengar sangat menyeramkan namun itu hanyalah gambaran dimasa lalu sebelum agama datang ke Pulau Nias.

Awuwukha adalah seorang kesatria pemberani, namanya jika diterjemahkan dari Bahasa Nias adalah “Jurang yang dalam”. Disinilah pemburuan kepala manusia di mulai dan menjadi sebuah tradisi yang harus dilaksanakan, dia diberikan gelar saat upacara Owasa (Upacara besar untuk meningkatkan status sosial seseorang) dalam tingkatan lebih tinggi, diakui paling kuat, perkasa, dan digdaya.

Dalam kisahnya, Awuwukha yang tinggal di sebuah desa bernama Boronadu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara) adalah pencetus tradisi mangai binu (Memburu kepala) di Pulau Nias.

Mangai binu sering pula disebut dengan istilah lokal lainnya, seperti möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, atau möi emali. Kata emali disematkan kepada orang yang berperan sebagai pemburu kepala manusia macam Awuwukha.

Bukan tanpa sebab Awuwukha menjelma menjadi penjagal kelas kakap. Apa yang dilakukan Awuwukha itu bermula dari dendam lantaran ibu dan 7 saudaranya dibakar hidup-hidup di kediaman mereka oleh sekelompok orang dari desa lain. Para pengacau itu juga membakar lumbung padi milik Laimba, orang yang paling dihormati di desanya.

Awuwukha yang datang terlambat dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa rumahnya telah terbakar bersama dengan keluarganya tentu saja murka besar. Ia pun bersumpah akan menuntut balas terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan itu (Sonjaya, 2008).

Beberapa hari berselang, Awuwukha pulang. Langkahnya tenang lagi mantap, dengan raut muka yang mengesankan kepuasan. Ia memanggul sebuah karung yang ternyata berisi penggalan belasan kepala manusia, kepala orang-orang yang membakar rumah dan membunuh keluarganya, sekaligus mempermalukan warga desanya.

Sejak itulah, mangai binu atau perburuan kepala mulai berlaku karena apa yang telah dilakukan Awuwukha ternyata berlanjut. Musuh-musuhnya semakin banyak karena ingin membalas dendam. Namun, Awuwukha tak terkalahkan hingga menutup mata karena dimakan usia. Nama Awuwukha pun menjadi legenda, sekaligus diabadikan sebagai gelar yang diberikan untuk orang-orang sepertinya.

Perang besar-besaran terjadi saat itu berbeda dengan hari-hari sebelumnya awuwukha yang perkasa terbaring tak berdaya. Akhir kehidupanya sudah tergambar sangat dekat seiring usianya yang semakin renta. Sebelum ajal menjemput, Awuwukha berucap wasiat kepada anak-anaknya yang siap menjalankan apapun permintaan terakhir sang ayah.

Awuwukha mengajukan permintaan kepada anak-anaknya, Apabila meninggal nanti, Ia ingin dikuburkan bersama 5 kepala, seorang untuk mempersiapkan makanan, seorang menyiapkan minum, seorang mempersiapkan sirih pinang, seorang untuk menjaga dan seorang lagi menjadi tukang pijat. Jumlahnya tergantung pada yang diminta. Dan ini wajib dipenuhi oleh anak dan keturunannya.

Permintaan itu ditutup oleh Awuwukha dengan mengupas kuku jempolnya menggunakan pisau (ono nekhe). Itu berarti bahwa permintaannya harus dipenuhi oleh anak-anaknya. Anak-anaknya harus mencari lima kepala dan akan bergerilya ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Siapa saja yang ditemuinya, akan dipenggal kepalanya, sekalipun orang itu tidak memiliki dosa untuk bekal kubur ayahnya yang disebut binu.

Pada perkembangannya, sejak Awuwukha meninggal dunia, praktek mangai binu meluas untuk berbagai kepentingan lain. Salah satunya dalam pembangunan rumah bangsawan Nias atau omo sebua. Sebagai wujud rasa syukur, kepala para tukang yang membangun rumah itu justru dipenggal untuk persembahan.

Orang yang diperkerjakan sebagai tukang biasanya adalah kaum budak atau sawuyu. Dalam adat masyarakat Nias tempo dulu, upacara-upacara pemujaan sering disertai dengan penyembelihan sawuyu (Victor Zebua, Ho: Jendela Nias Kuno, Sebuah Kajian Kritis Mitologis, 2006). Sawuyu seolah menjadi tumbal kemegahan sebuah tradisi.

Mangai Binu juga dilakukan oleh kaum lelaki yang hendak memperistri gadis pilihannya. Keluarga si calon mempelai perempuan biasanya meminta kepada lelaki itu untuk mempersembahkan kepala musuh. Semakin banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal dan ditunjukkan, semakin tinggi pula nilai si calon menantu itu.

Tradisi berburu kepala mulai memudar seiring masuknya misionaris Kristen ke wilayah Pulau Nias pada awal abad ke-20, kebanyakan berasal dari Jerman, ada juga orang Belanda. Para zending ini bisa diterima oleh orang Nias karena tidak menunjukkan kesan kekerasan serta mengenalkan hal-hal baru yang membuat warga lokal tertarik.

Kaum misionaris ini cukup cerdik dalam upaya menghilangkan tradisi yang mereka pikir sudah tidak relevan. Semisal adalah diperkenalkannya fananö bunga atau “menanam bunga” untuk menggantikan ritual famaoso dalo atau “menanam/menguburkan kepala” (Bambowo Laia, Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias, 1980).

Tradisi lompat batu di Nias juga menjadi taktik kaum zending untuk menghapus Mangai Binu (Zebua, 2008). Jika sebelumnya tingkat kehebatan ditentukan oleh jumlah kepala yang berhasil dipenggal, kini berganti dengan kemampuan melompati batu. Semakin tinggi batu yang bisa dilampaui, semakin dinilai hebat pula orang itu, tanpa harus memburu kepala sesamanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here