“Malam ini kamu harus menang”
“ya!! kamu pasti bisa”
“kamu pasti menjadi bintang malam ini”
“anak Ayah harus bisa membuat ayah bangga!”
Begitu banyak dukungan yang diberikan orang untuk Ineke, gadis yang usianya dua tahun lebih muda daripadaku. Dia termasuk anak yang pintar, mempunyai banyak bakat dan selalu menjadi kebanggaan di keluarga kami. Malam ini dia mengikuti lomba tarik suara.
“kamu pasti bisa sayang, berikan yang terbaik malam ini!” begitulah dukungan yang kuberikan ketika Ineke menghampiriku.
Kulihat begitu bersemangatnya Ayah memberi dukungan kepada Ineke ketika dia menaiki panggung. Selesai penampilan Ineke, sebelum acara berakhir aku memutuskan untuk pulang lebih awal karena masih ada seseorang yang menungguku dirumah.
“Ayu, kamu sudah pulang?” kudapati Ibuku yang duduk dikursi rodanya sambil memandangi langit malam yang penuh bintang dari jendela kamar.
“Bagaimana dengan Ineke, adikmu?Apakah penampilannya sempurna?”
“Dia tampil lebih dari sempurna,” jawabku sambil tersenyum dan membantu Ibu untuk naik ketempat tidurnya.
Kemudian aku beranjak menuju kamarku. Kuambil sebuah buku yang terselip diantara banyaknya buku-buku yang ada di rak dalam kamarku. Hampir sebulan penuh aku melupakan buku ini. Aku mulai membaca kembali kata per kata yang pernah kutulis di dalamnya.
“tak ada yang menarik!” gerutuku dalam hati dan berpikir betapa bodohnya diriku yang tak mampu memainkan kata-kata dan membuatnya menjadi lebih indah.
“Aarrrgghh……” ingin rasanya aku merobek lembaran kertas dalam buku ini.
Tak lama kemudian, terdengar suara Ayah yang tak henti-hentinya memberi pujian kepada Ineke.
“Ayah sangat bangga sama kamu, dari dulu kamu memang tak pernah mengecewakan Ayah. Kamu memang anak ayah yang paling hebat.”
Malam ini pasti Ineke meraih juara tarik suara lagi. Memang dari dulu Ineke selalu membanggakan keluarga ini. Setelah mendengar semua pujian ayah atas keberhasilan Ineke, aku beranjak ketempat tidurku membaringkan tubuhku dalam hangatnya selimut tidurku.
Pagi hari, kudapati Ibuku yang duduk sendirian di teras rumah. Tak kutemukan ayah dan ineke.
“Ayah dan adikmu Ineke baru saja berangkat, Ayah membawanya keluar kota tiga hari. Semalam Ineke menang dalam lomba nyanyi itu, sebagai hadiah ayahmu mengajaknya berlibur keluar kota.” Belum sempat aku bertanya Ibu langsung memberitahu semuanya.
Menurutku, itu terlalu kekanak-kanakan. Ineke bukanlah anak kecil lagi yang harus selalu di beri hadiah ketika dia menang dalam suatu perlombaan.
“kamu jangan iri dengan adikmu,” kata ibu sepertinya tahu apa yang sedang ada dalam pikirku . Aku duduk mendekati Ibu.
“Ibu yakin, kamu juga pasti bisa mendapat hadiah dari Ayah. Seperti waktu dulu, ketika kamu masih duduk di bangku kelas empat SD. Tapi hanya sekali,” lanjut ibu. “Kamu tidak suka mengikuti festival seperti itu, menurutmu hal seperti itu terlalu kekanak-kanakan dan tidak cocok untukmu. Kamu juga bilang kalau kamu punya satu mimpi yang akan membuat Ayah dan Ibu bangga”. Ucap ibu lalu tersenyum.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Ibu, lalu Ibu memelukku dan berkata, “Ayu sayang, lanjutkan mimpimu itu dan tumbuhkan kembali rasa bangganya Ayah punya putri sepertimu.” Kata ibu dengan dengan nada kelembutannya.
Aku kembali masuk ke kamar. melihat buku yang masih tergeletak di atas meja belajarku. Kubuka dengan pandangan kosong pada buku itu dan kata-kata Ibu tadi masih terngiang di telingaku. Kuambil penaku dan mulai kembali berkhayal menulis apa yang ada dalam khayalku. Kuyakini kali ini aku akan berhasil menciptakan sebuah buku yang disukai banyak orang dan akan membanggakan keluarga terutama Ayah.
Seminggu berlalu, kali ini aku berniat menjual naskah yang ku buat ke perusahaannya om Ali temannya Ayah. Entah apa yang mendorongku untuk menawarkan ke perusahaan om Ali.
Aku kembali teringat, dulu setiap kali aku menyelesaikan naskahku, Ayah selalu menemani untuk pergi keredaksi yang mau menuliskan hasil tulisanku. Namun mereka selalu saja menolaknya dengan alasan yang berbeda-beda. Sampai pada akhirnya Ayah berkata,
“kerjakan dengan semampumu. Jika kamu jatuh, kamu harus mau bangkit. Mulai sekarang Ayah mungkin tidak akan lagi membantumu untuk hal ini.”
Semenjak saat itulah Ayah tidak lagi mau membantuku untuk melanjutkan mimpiku sebagai penulis, bahkan untuk berkomunikasi dengan ayahpun sulit untukku.
Berapa hari kemudian, aku mendapat telepon dari perusahaannya om Ali. Sungguh seperti bermimpi rasanya, perusahaan om Ali bersedia membeli naskah yang kutulis dan tulisanku akan diangkat ke layar lebar. Segera aku keluar dari kamarku ingin memberitahukan ini kepada semua orang rumah.
Kulihat Ayah, Ibu dan Ineke sudah berada di meja makan. Ayah berdiri dan berkata kepadaku, “SELAMAT” lalu beranjak pergi. Hanya satu kata itu saja yang terucap oleh Ayah.
Aku tidak tahu apakah Ayah bangga dengan pencapaianku saat ini. Andai Ayah tahu, semuanya ini kulakukan untuk Ayah.
Penulis: Lamsaria Siregar