Niasoke.com – Sore hari di bulan Juni, tepatnya pukul 17.35 WIB hujan mengguyur sebuah desa di kabupaten Mentawai. Hujan yang dari pagi tadi tak kunjung mereda membuat aktifitas jalanan macet. Ditambah dengan orang-orang yang pulang kerja dan anak sekolah yang baru menyelesaikan pembelajarannya. Disudut jalan, dibawah sebuah pohon beringin yang rindang tampak dua orang anak yang berpakaian kumal. Mereka tengah berteduh di bawah pohon tersebut walau usahanya sia-sia karena pakaian mereka akhirnya basah kuyup juga. Anak itu adalah Doni yang berusia 9 tahun dan adik perempuannya Nana berusia 7 tahun. Doni bocah lelaki yang bertubuh kerempeng dan berkulit sawo matang sementara Nana anak perempuan yang bertubuh agak gemuk dan berkulit kuning langsat. Mata indah dan hidung yang mancung membuat mereka terlihat mirip. Mereka tinggal diseberang pulau sana yang jaraknya kira-kira 53 KM dari desa ini. Tiap pagi mereka selalu datang dengan menumpang perahu siapa saja yang hendak menyeberang ke desa ini. Tak jarang mereka di marahi oleh yang punya perahu karena setiap kali naik mereka selalu melarikan diri agar tidak membayar ongkos perahu tersebut. Terkadang jika mereka tak berhasil mencuri masuk, mereka tidak pulang kerumahnya dan terpaksa harus tetap berada di desa ini dan tidur dimana saja selagi tidak ada yang melarang.
Seorang ibu yang berpakaian kantor namun ditutupi mantel hujannya menghampiri mereka. Ibu itu mengambil beberapa ikat sayur yang dijual dua anak tersebut dan membayarnya lalu lekas pergi dengan sepeda motornya. Tak lama setelah itu, tampak pula seorang bapak mendekat dan berbincang-bincang dengan mereka, tak tahu apa yang mereka perbincangkan. Bapak itu juga memberi uang kepada Doni. Namun, ketika ia berbalik hendak pergi, ia tak mengambil jualan mereka. Ternyata lelaki tersebut adalah seorang saudagar yang cukup terkenal. Ia memberi uang kepada mereka karena seharian Doni dan adiknya telah membantu bapak itu bekerja.
Pukul 19.00 WIB hujan yang sedari tadi membasahi jalanan kini mulai mereda. Jalanan sudah kembali normal. Dua bocah tadi pun beranjak dari tempat mereka lalu berlari menuju terminal terdekat untuk mencari perahu yang bisa di tumpangi pulang kerumah. Disana sangat banyak orang yang telah antre untuk naik kedalam perahu. Memang sejak lima jam yang lalu peroperasian perahu dihentikan karena hujan lebat yang membuat gulungan ombak sangat besar. Peroperasian kembali aktif setelah hujan sudah reda. Udara yang sangat dingin dan angin yang kencang menemani perjalanan mereka ditambah ayunan ombak yang membuat Nana merasa takut. Doni yang duduk didekat Nana seolah-olah merasakan ketakutan dalam diri adiknya itu.
“Apakah kau takut?” tanya Doni kepada adiknya.
“Hmm..” jawab Nana sambil mengangguk.
“Tenanglah, ada aku disini, aku tidak akan meninggalkan engkau. Lima belas menit lagi kita akan sampai.” Kata Doni dengan penuh kasih sayang.
“Saat sudah sampai nanti kita akan langsung makan. Kau pasti lapar kan?” lanjut Doni sambil tertawa dikit.
“iya, aku sangat lapar.” Jawab Nana dengan polos. Lalu Doni tersenyum kepada adiknya sambil merangkul tangannya di bahu adiknya yang manis itu. Berharap dengan cara itu adiknya tidak akan takut lagi.
Lima belas menit kemudian, perahu yang di tumpangi Doni dan Nana menepi pertanda mereka sudah sampai. Namun, Doni dan Nana harus berjalan kaki 1,5 KM lagi untuk mendapati rumah mereka. Dengan membawa karung yang berisikan sisa jualan yang tidak laku mereka berjalan di tengah kegelapan malam untuk mendapati rumah mereka. Jika banyak orang yang berkata ini adalah zaman modern, itu tidak berlaku bagi mereka. Jangankan untuk merasakan kemudahan dalam penggunaan smartphone, interenet dan lain sebagainya, aliran listrik saja tak kunjung mereka dapatkan. Banyak orang yang berkata, desa mereka adalah desa yang terkutuk. Karena segala sesuatu memang sangat susah disana. Untuk berkebun atau berladang saja sangat susah karena tanahnya yang gersang. Hanya beberapa tanaman saja yang dapat tumbuh disana dan harus pandai-pandai memilih lokasi untuk bertanam.
Rumah yang letaknya jauh dari pemukimam penduduk itu hanya di terangi dengan dua lampu cemprong. Rumah itu terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia yang berukuran 4 x 8 m2. Di rumah itu tak terlihat kemewahan sedikitpun bahkan kenyamanan pun mungkin takkan dirasakan. Diruang tengah tampak seorang lelaki yang kira-kira berusia tiga puluhan berbaring diatas tikar yang telah koyak beralaskan bantal yang lesu di kepalanya. Di dekatnya ada sebuah tongkat kayu dan segelas air putih. Lelaki itu adalah ayah mereka yang memang telah lumpuh sejak lima tahun terakhir akibat kecelakaan sewaktu bekerja. Keadaannya membuat ia tak mampu mencari nafkah seperti dulu lagi. Di dalam kamar ada seorang perempuan cantik, yang masih terlihat muda tengah melipat kain sembari menunggu anak-anaknya pulang.
Ketika sampai di rumah, dua bocah tadi memberi salam kepada ayah dan ibunya. Lalu segera berganti pakaian dan kemudian makan makanan yang telah tersedia ala kadarnya di dalam tudung saji. Sesudah makan, mereka masuk ke kamar untuk tidur. Sementara, ayah dan ibu mereka masih di ruang tengah. Di dalam kamar itu, begitu banyak barang yang berserakan. Disana ada dua buah buku tulis dan pensil yang masih utuh sepertinya belum pernah di pakai sama sekali. Tidak tau dari mana asal buku itu dan buat apa dia ada disitu karena tidak di ketahui siapa yang rela jadi tuannya. Sebelum tidur, Doni mematikan lampu cemprong yang di gantung dekat pintu kamar demi menghemat bahan bakar lampu tersebut. Setelah selesai memadamkan api cemprong tersebut mereka tidur dengan berbagi bantal dan selimut secukupnya.
Sang fajar kembali dengan gagah menyambut pagi dua kakak beradik yang malang itu. Mereka segera bangun dan beranjak ke dapur lalu menyantap singkong rebus yang telah di masak ibunya sebelum berangkat kerja. Ibu mereka bekerja sebagai buruh tani di kebun kepala desa dan terkadang juga si ibu menjadi asisten rumah tangga orang yang mau menyewanya. Pekerjaan yang di lakukan ibu mereka hanya cukup untuk membiayai hidup sehari-hari. Jangankan untuk bersekolah, membelikan baju baru untuk anak-anaknya saja si ibu tak sanggup karena upah yang dia terima sangat sedikit. Setelah selesai sarapan mereka segera bersiap untuk membantu ibu mencari nafkah kembali. Mereka pernah dilarang oleh ibunya untuk melakukan itu, tapi mereka tetap keras kepala untuk melakukannya.
Doni mengambil karung yang letaknya disandarkan didinding yang telah bolong-bolong. Tak jauh dari tempat itu ada sebuah tungku tempat masak, periuk yang sudah banyak tambalnya. Disamping tungku itu ada pula sebuah rak piring kayu yang berdirinya tidak kokoh lagi karena sudah tua. Di dalam karung yang di raih Doni itu berisikan jualan yang siap merka jual di pulang seberang. Karung itu memang sudah sengaja di persiapkan ibunya dari semalam. Mereka siap berangkat dengan semangat yang luarbiasa. Mereka berlari sambil tertawa seolah-olah tak ada beban dalam diri mereka. Mereka cukup menikmati nafas hidup yang di berikan Tuhan. Mereka tidak perduli dengan kehidupan anak-anak di luar sana. Jika anak-anak yang sebaya dengan mereka menghabiskan waktunya untuk bersekolah dan bermain, hal itu tidak berlaku bagi Doni dan Nana. Mereka adalah kakak beradik yang tidak tau apa itu arti sekolah, mereka tidak merasakan bagaimana bahagianya dapat bermain riang melakukan ini dan itu. Mereka hanyalah manusia tangguh yang di ciptakan Tuhan di dunia untuk menyadarkan orang-orang sekitar, walaupun sampai saat ini belum banyak orang yang peka akan hal tersebut.
Setelah beberapa menit di perjalanan, mereka sampai juga di tempat tujuan. Mereka mulai menjajakan barang dagangan mereka. Mereka berjalan kesana kemari mencari pembeli. Mereka telah berjalan jauh dan mereka mulai kecapekan dan lapar. Mereka berhenti di satu tempat persinggahan sambil menikmati singkong rebus yang mereka bawa dari rumah pagi tadi. Mereka terlihat sangat menikmatinya, mereka makan dengan lahap dan berharap perutnya tidak keroncongan saat menjajakan dagangan nanti. Saat menikmati singkong rebus yang terakhir, dua orang perempuan yang berpakaian seragam SMA datang dan duduk dekat mereka untuk beristirahat sejenak. Mereka melihat Doni dan Nana dengan wajah yang iba. Lalu yang satunya bertanya kepada Doni
“Dek, adek gak sekolah?”
“Jika ada orang yang mau membelikan kami baju, kami akan sekolah.” jawab Doni yang sontak membuat mereka kaget dan kasihan.
“Emang orang tuanya mana dek?” tanya perempuan yang satu lagi.
“Ada.” jawab Nana polos sekali.
“Kami hanya ingin membantu mereka selagi kami mampu. Mereka telah membesarkan kami dan selalu menyiapkan makanan ketika kami hendak berangkat kerja dan ketika kami pulang.” Jawab Doni dengan jawaban seperti bukan anak sembilan tahun.
Salah satu dari perempuan tadi meraba sakunya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah lalu menyodorkan uang itu kepada Doni. Namun Doni menolak dan berkata,
“Terimakasih kakak. Tapi maaf kami tidak menerima uang yang bukan hasil usaha kami. Permisi kak.” Kemudian Doni pergi meninggalkan mereka.
“da..da.. kakak” Nana pamit sambil melambaikan tangan kepada dua perempuan itu dan mereka balik melambaikan tangan sambil tersenyum kepada anak manis itu.
Doni dan Nana kembali melanjutkan pekerjaan mereka hingga tak terasa matahari sudah tenggelam. Mereka segera menuju terminal dan mencari perahu untuk kembali. Namun, usaha mereka gagal. Malam ini perahu menuju seberang sana telah selesai beroperasi dengan alasan sang operator sedang sakit. Melihat kondisi seperti ini mereka segera keluar dari terminal dan mencari tempat yang bisa dijadikan tempat istirahat dan tidur malam ini. Mereka duduk di sebuah tempat yang tidak ada orang sambil menunggu toko-toko tertutup. Setelah malam begitu larut, toko-toko pun telah ditutup oleh pemiliknya. Doni segera mengajak adiknya untuk pergi kedepan toko yang ternyata telah di intainya sedari tadi. Dengan tubuh yang lelah dan mata yang mengantuk, Nana mengikuti kakaknya. Sampai di depan toko, Doni mengambil beberapa kardus yang ada disana dan menjadikan kardus itu sebagai alas tidur mereka.
“Apakah kau kedinginan?” tanya Doni kepada adiknya. Nana tidak menjawab karena ia telah tertidur. Lalu Doni tidur di samping adiknnya. Perutnya keroncongan karena memang ia belum makan nasi kecuali makan singkong siang tadi. Belum sempat ia memejamkan mata, Nana menggigil karena kedinginan.
“Aku akan menyelimutimu.” Kata Doni sambil membuka bajunya lalu menyelimuti adiknya.
Lalu dua bocah itu tertidur dengan wajah lelah dan memancing rasa iba siapa saja yang melihat mereka.
Pagi-pagi benar, pukul 05.00 mereka dibangunkan oleh seorang lelaki pemilik toko itu karena ia hendak membuka tokonya. Lalu mereka bangun dan duduk di pojok toko itu dengan mata yang masih mengantuk. Bapak pemilik toko itu melihat mereka dan tersenyum lalu ia datang kepada mereka menawarkan dua buah roti yang sudah ada ditangannya. Lalu mereka menerima roti itu dan berterimakasih kemudian memakannya. Hari ini mereka tidak berjualan, karena tidak ada yang mau dijajakan. Tapi mereka tetap berjalan mengelilingi desa itu untuk mencari sampah yang bisa dijual. Karung yang ada pada mereka dijadikan sebagai tempat hasil mulung mereka. Mereka memang sering memulung apabila tidak ada yang harus dijual atau mereka mengalami hal seperti ini. Berbeda dari anak-anak yang lain, anak-anak yang asalnya sama dengan Doni dan Nana. Mereka lebih suka meminta-minta dan mencuri. Mereka selalu membuat masyarakat disana resah dengan keberadaan anak-anak nakal itu.
Pada saat mereka jalan, mereka tidak sengaja lewat di depan sebuah rumah yang sedang merayakan pesta ulang tahun dan diramaikan oleh anak-anak. Mereka berhenti di depan rumah itu karena mendengar lagu selamat ulang tahun dan lagu lainnya dari dalam rumah itu. Doni dan Nana turut bernanyi seperti yang dinyanyikan anak-anak itu. Beberapa menit kemudian anak-anak yang dalam rumah pesta itu melihat keluar kearah mereka dan saling berbicara satu sama lain sepertinya sedang membicarakan orang asing yang mereka lihat. Doni dan Nana masih saja terus bernyanyi dengan girang. Namun setelah tahu bahwa dirinya tengah diserbu dengan pandangan orang banyak, Doni menarik Nana untuk kabur dari sana dan karung yang berisikan hasil mulung mereka masih tetap ditangan Doni. Mereka lari dari tempat itu karena takut akan dimarahi. Tetapi Nana terus saja merengek ingin kembali.
“Kenapa kita harus pergi dari sana?” Rengek Nana kepada Abangnya.
“Ayolah, Nana, jangan merengek lagi! Aku akan mentraktirmu es krim. Bagaimana?” bujuk Doni.
“Iya, aku tidak minta kesana lagi. Asal kau belikan aku es krim sampai aku merasa kenyang.” Pinta Nana
“Ok! Tapi nanti setelah kita selesai kerja dulu dan menjual ini.” Kata Doni sambil sedikit mengangkat karung yang di tangannya.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka. Setelah dirasa cukup, Doni dan Nana lalu menjual hasil mulung mereka ke toko yang menerima itu. Setelah itu mereka pulang kerumah mereka.
Keesokan harinya mereka kembali lagi ke desa dimana mereka menghabiskan waktu mereka untuk bekerja. Kali ini mereka juga tidak membawa jajanan mereka karena ibunya tidak mempersiapkan itu. Seperti biasanya, mereka berlari sambil tertawa berdua. Baru saja mereka keluar dari terminal, seorang bapak memanggil Doni. Dia adalah Pak Nugro. Lalu Doni dan Nana datang kepada bapak itu. Pak Nugro meminta Doni untuk membantunya mengatur barang-barang dagangannya. Karena memang hari ini adalah hari pasar. Hari pasar yang di maksudkan disini adalah hari dimana barang-barang dari luar kota datang ke desa ini. Doni tak berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan pak Nugro, karena ini adalah kesempatan bagi dia buat bekerja dan mendapatkan uang.
Pagi itu, Doni sangat semangat bekerja. Sementara Nana duduk dengan santai di pojok toko untuk menikmati es krim yang di berikan bapak pemilik toko itu kepadanya. Tiba-tiba anak-anak nakal yang suka meminta-minta mendekati Nana dan mengajak Nana untuk ikut dengan mereka.
“Hei, Nana ngapain disini?” tanya Adil. Nana tidak menjawab dan masih terus menikmati es krimnya.
“Abangmu mana?” tanya ega kepada Nana.
“Ada, disana.” Jawab Nana sambil menunjuk dengan mulutnya ke depan.
“Tidak ada.” Kata Roy.
“Ada, dia kerja disini.” Bantah Nana kepada Roy.
“Nana, mau ikut kami gak?” tanya Ega.
“Kemana?” tanya Nana balik.
“Ayo ikut saja! Apa kau tidak kasihan melihat hanya abangmu saja yang bekerja sementara kau asik sendiri disini.” Ucap Roy.
“Disana ada sebuah kapal yang baru saja tiba, jika kita kesana dan mereka melihat kita, mereka akan kasihan kepada kita lalu mereka akan memberi kita uang,” Jelas Adil.
“Bukan Cuma uang saja, tapi mereka juga akan memberi kita makanan dan minuman yang enak dan sangat banyak. Apakah kau tidak mau itu?” lanjut Roy.
Nana mengarahkan matanya keatas seolah-olah tengah mengambil keputusan untuk ikut atau tidak.
“Ah, lama, ayo cabut!” Ucap ega sambil menarik tangan Nana.
Nana pun berhasil di bawa mereka untuk pergi ketempat yang mereka bilang tadi. Pada saat itu memang Doni sedang tidak ada di sana. Dia disuruh untuk menemani bg Ali mengantar barang ke toko lain. Setelah mengantar barang dan kembali ke toko bapak Nugro, Doni tidak mendapati keberadaan Nana. Segera ia bertanya ke pak Nugro,
“Pak, adik saya mana?”
“Tadi disana saja gak kemana-mana.” Jawab pak Nugro.
“Pak, saya ijin dulu ya mencari adik saya,” pinta Doni.
“Ok, ok. Hati-hati!” kata pak Nugro.
Lalu Doni segera mencari Nana adiknya dengan penuh kekhwatiran. Ia takut akan terjadi apa-apa kepada Nana. Dia berjalan kesana kemari dan bertanya-tanya kepada orang yang lalu lalang. Setelah ia mengetahui dimana adiknya ia berlari secepat mungkin untuk mendapati adiknya. Karena panik Doni tak melihat ada sebuah truk yang melaju kencang. Ketika hendak menyeberang, truk tersebut menabrak tubuh Doni yang mungil itu dan Doni pun terlempar sangat keras dan terluka cukup parah. Orang-orang yang melihat itu berlari secepat mungkin untuk menolong Doni. Ambulance pun datang membawa Doni ke puskesmas terdekat. Namun malang, nyawa Doni tak tertolongkan. Ditengah perjalanan menuju puskesmas, Doni menghembuskan nafas terakhirnya.
Kini tak ada lagi sosok bocah yang dewasa seperti Doni. Bocah lelaki yang mau mengalah dan sabar menjalani hidup di dunia yang kejam ini. Hidup di dunia dimana dirinya selalu di anggap seperti seorang budak dunia. Doni yang malang kini telah mengakhiri hidupnya yang tak adil itu. Tugasnya telah selesai di dunia ini. Ia sudah kembali ketempat sang pemberi hidup dan sang pemberi kekuatan yang ada pada Doni selama ini. Selamat jalan Doni, semoga kau ditempatkan Tuhan di tempat yang paling indah dan paling nyaman untuk kau duduk, berdiri dan tidur.
Penulis: Lamsaria Siregar